Misery
Februari 2022, memasuki bulan ketujuh aku tinggal permanen bersama orang tua setelah seumur hidupku. And yeah we face the odds.
Buatku, to be honest. It started the day when my mom was ignoring me, the same as...today maybe. It's always so devastating. I pretend that i don't care too. Tapi jelas saja pikiranku selalu meraba, kekeliruan apa lagi yang aku lakukan?
Aku pun ga sepenuhnya selalu benar atau selalu menjadi korban. Ada hari dimana kita saling melemparkan kata-kata yang menyayat.
Aku yang selalu tidak bisa terima bagaimana itu selalu harus aku yang memaklumi segala tindakannya. Yang buatku bukan sekadar hanya diulik dari satu waktu tragedi itu saja. Adalah daftar panjang hidupku yang terpaksa kulalui dengan getir. Gak se tragis itu juga sih, namun tetap saja hal yang valid untuk tidak dihiraukan.
Aku yang sedari kecil dibawa pulang kampung nenek karena kedua orang tuaku sibuk bekerja. Waktu itu mereka tidak punya pilihan lain, bukan berarti juga mereka tidak berusaha untuk memberikan yang terbaik buatku. Sedari jauh, setiap bulan, mendoakan tiap waktu. Aku yakin akan hal itu.
Saat aku sekitar kelas 4 atau 5 SD. Masih ingat jelas bagaimana aku membenci ayahku. Meninggalkanku disini. Lalu setiap kali menjengukku saat lebaran, aku selalu ditimpa bermacam-macam tuntutan dan tanggung jawab yang belum aku pahami. Aku harap aku bukan anaknya, aku harap aku tak pernah lahir jika hanya untuk meninggalkanku ditempat ini. Bukan tempat yang begitu buruk, nenek dan kakekku menyayangiku, juga omku. Aku ingat lagi, aku lupa apa sebab kebencianku itu, namun kuingat harapan mushkil dan kutukan-kutukan dari bisikku sambil sesenggukan sendirian. Pastinya hanya harapan-harapan naif. Tapi dari situ aku pun tidak juga mampu secara mentah-mentah menganggap tiada kasih dari orangtuaku.
Lalu aku disini, sudah 7 bulanan aku menetap bersama orang tua. Kisruhpun menjadi aral. Istilah jawanya: adoh mambu wangi, cedak mambu tai. Iya, karena terlalu lama hidup berjauhan, saat dekat lama-lama tercium juga bau busukku.
Aku yang dikata keminter sama ibu gara-gara sering mengadu excuses-nya dengan cara berfikirku yang berani kubilang cukup masuk akal. Dari situlah, sebenernya akupun malu dengan diriku sendiri, memang benar kata ibu. Aku masih belum memberi apa-apa padanya. Hanya pandai bicara. Yasudah tak diam saja.
Tapi kok makin hari makin bikin dada ini ada buntalan yang bikin sesak. Makin besar. Silent treatment beliau yang pun tidak beliau pahami istilah ini membuatku serba salah.
Sebagai anak biasa-biasa saja yang ingin berbakti kepada orang tua kok malah aku diperlakukan kaya orang asing yang numpang. Mungkin memang aku berhak diperlakukan seperti ini karena ibu sudah menganggapku sebagai manusia dewasa yang bisa bertanggung jawab atas hidupnya dan omongannya. Tapi apa pernah ibu berfikir dan merasakan jalannya hidupku juga? Yang tidak kalah getir seperti waktu jamannya yang sering ia ceritakan dulu, pun sering jadi tandingan buat keluh-kesahku dan aduanku padanya. Tidak banyak pilihan buatku untuk meluapkan kekecewaan ini selain nangis di kamar mandi dan meringkuk di dipan seperti udang. Privasi? Cih ga ada kemewahan itu. Aku akan sangat bersyukur dan memberikan segalanya jika waktu terulang, saat aku menangis terang-terangan didepan matanya. Lalu ia akan membelaiku, cukup tak perlu kata-kata. Tapi justru aku didiamkan saja.
Tapi ibu tak memperlakukan adikku bungsuku sedingin itu. Di bela ketika ia salah dan culas, ditenangkan ketika menangis, diberi apapun atas rengekannya. Mengapa aku tidak seperti itu? Apa bedanya? Apakah aku memang seperti orang asing? Padahal ayah dan ibu yang mengasingkanku, lalu aku kembali dan aku harus bersikap dan penuh kasih sayang tiba-tiba? Kuharap aku bisa, jika saja keluarga ini tidak awkward untuk saling mengekspreaikan emosi dan perasaan. Ayah, ibu aku sayang.
Namun jujur aku enggan. Mereka tak pernah mencoba berbicara dengan tulus kepadaku.
Mungkinkah aku lemah? Mungkinkah aku cengeng? Mungkinkah aku tak bisa memaklumi perbedaan? Yang pasti semuanya benar. Lalu bagaimana dengan mereka, denganku?. Aku tak berharap apa-apa lagi selain sebuah tempat tiada seorangpun, untukku membuncahkan segalanya. Lalu doa, keridhoan Tuhan dalam bentuk kesabaran buatku yang tiada batas.
Comments
Post a Comment
Nice to meet you, leave a comment.