Membagongkan
Dua minggu yang lalu ponakkan bapakku mampir kerumah. Hampir rutin setiap weekend. Kami senantiasa menikmati obrolannya yg ndagel. Kumpulan cerita sepekan dia tumpahkan bersama sebulan udud dan kopi hitam bersama bapakku di teras.
Aku yang sedang menyambar handukku di jemuran tetiba ditanyai olehnya dengan bahasa jawa purwokertoan, kira-kira beginilah terjemahannnya.
"Fi, umurmu berapa?"
"Duapuluhlima, Mas."
"Dah ada calon belum?"
"Belum", jawabku sambil meringis kecil.
Sudah hanya begitu saja dia tanya, aku langsung masuk rumah.
Belum seminggu dia sudah datang lagi makbedunduk membawa rekannya yang mau diperkenalkan denganku, yang memang sudah dijanjikan sehari sebelumnya lewat pesan singkat bersamaan dengan foto yang sepertinya dia jepret diam-diam di tengah pekerjaan, tidak nampak jelas.
Masih tapian handuk tapi tamu sudah datang, aku buru-buru berdandan agar terlihat pantas. Ibuku sudah mempersiapkan hidangan karena diprediksi mereka akan lama bertamu.
Aku sudah hampir siap untuk menemui rekan masku itu. Serasa biasa saja tiada debar hanya sedikit malu. Aku bersalaman, menatap kerut dan sinaran matanya yang hanya sekejap namun cukup mampu memberi tahu bahwa dia senang melihatku.
Lalu aku menyalami masku dan mencium tangannya. Aku duduk bersekat satu kursi dari kawannya itu, kami saling curi pandang. Aku tahu setelah itu masku dengan sengaja meninggalkan kami berdua agar mengobrol dengan leluasa. Kami bercakap banyak hal, tentang latar belakang, aktifitas keseharian, politik, gosip artis sampai religi. Cukup nyambunglah, sangat menyenangkan.
Setelah ashar mereka berdua pamit. Setelah itu aku tak henti-hentinya memikirkan momen yang kupikir akan berkesan biasa saja. Nyatanya aku terbuai dan kusadari aku menyukainya. Untungnya kami sempat bertukar kontak, aku yang menawarkan diri lebih dulu.
Singkat cerita, sudah tiga hari setelah perkenalan kami, nihil pesan darinya sebagai pertanda apakah dia tertarik padaku juga. Sudah cukup lama aku tidak merasakan kegundahan semcam ini semenjak masa sekolah.
Sebelumnya aku mengurungkan niatku untuk mengirim pesan padanya, toh aku duluan yang menawarkan diri bertukar nomor hp. Sebenarnya dari situ aku harap dia peka.
Boy, can you get the hint?. I'm into you.
Dan dia bakal mengirim chat setelah dia sampai dikostan. Harapku.
Dan lagi, aku bertekad mencobanya. Jika dia tidak membalas atau membuatku menunggu cukup lama. Semua itu sudah cukup sebagai bukti dia tidak memiliki ketertarikan yang sama.
Sederhana saja, aku hanya menanyai kabarnya di pesan itu, lalu aku tap icon pesawat kertas. ✓✓Sent. Berdegub dadaku menunggu balasan darinya.
Sehari setelah pesan itu terkirim, hanya terlihat dua centang abu-abu. Yahh... Sudah. Setidaknya aku sudah cukup berani mencoba.
Tak bisa bohong, hal itu menyesakkan dada. Patah dan lesu. Lalu aku menghibur diri menonton film "He's just not that into you", menjagaku tetap waras dan menangis sesenggukan setelahnya.
Comments
Post a Comment
Nice to meet you, leave a comment.